Halaman

Senin, 19 Agustus 2013

17 Agustus 1945 ( Hari Kemerdekaan Indonesia/ Indonesia Independent Day)

Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota Hiroshima Jepang oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, atau "Dokuritsu Junbi Cosakai", berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau disebut juga Dokuritsu Junbi Inkai dalam bahasa Jepang, untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki sehingga menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.


Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari, tergantung cara kerja PPKI. Meskipun demikian Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus.

Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang setiap saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan 'hadiah' dari Jepang.

Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu. Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar ini melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang.

Pada tanggal 16 Agustus, para pemuda, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana yang tergabung dalam gerakan bawah tanah kehilangan kesabaran, dan pada dini hari tersebut, bersama Shodanco Singgih (anggota PETA) dan pemuda lain, mereka membawa Soekarno (bersama keluarga) dan Hatta dan Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal dengan peristiwa Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya. 

Akhirnya diputuskanlah tanggal kemerdekaan Indonesia yaitu keesokan harinya, tepatnya hari jumat tanggal 17 agustus 2013. Namun, pemilihan tanggal 17 Agustus sebagai waktu dibacakannya proklamasi bukanlah tanpa alasan. Dalam buku Samudera Merah Putih 19 September 1945, Jilid 1 (1984) karya Lasmidjah Hardi, diceritakan alasan Presiden Soekarno memilih tanggal 17 Agustus sebagai waktu proklamasi kemerdekaan salah satunya adalah karena Bung Karno mempercayai mistik. (*)

Malam harinya tanggal 16 Agustus, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Mayor Jenderal Moichiro Yamamoto, Kepala Staf Tentara ke XVI (Angkatan Darat) yang menjadi Kepala pemerintahan militer Jepang (Gunseikan) di Hindia Belanda tidak mau menerima Sukarno-Hatta yang diantar oleh Tadashi Maeda dan memerintahkan agar Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen Urusan Umum pemerintahan militer Jepang, untuk menerima kedatangan rombongan tersebut.


Setelah dari rumah Nishimura, Sukarno-Hatta menuju rumah Laksamana Maeda (kini Jalan Imam Bonjol No.1) diiringi oleh Myoshi guna melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi. Setelah menyapa Sukarno-Hatta yang ditinggalkan berdebat dengan Nishimura, Maeda mengundurkan diri menuju kamar tidurnya. Penyusunan teks Proklamasi dilakukan oleh Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo dan disaksikan oleh Soekarni, B.M. Diah, Sudiro (Mbah) dan Sayuti Melik. Myoshi yang setengah mabuk duduk di kursi belakang mendengarkan penyusunan teks tersebut tetapi kemudian ada kalimat dari Shigetada Nishijima seolah-olah dia ikut mencampuri penyusunan teks proklamasi dan menyarankan agar pemindahan kekuasaan itu hanya berarti kekuasaan administratif. Tentang hal ini Bung Karno menegaskan bahwa pemindahan kekuasaan itu berarti "transfer of power".

Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik naskah tersebut menggunakan mesin ketik yang diambil dari kantor perwakilan AL Jerman, milik Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler. Pada awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada, namun berhubung alasan keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 (sekarang Jl. Proklamasi no. 1).


Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 - 04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan di laksamana Tadashi Maeda Jln Imam Bonjol No 1. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah, Sayuti Melik, Sukarni, dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti Melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh Ibu Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil walikota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.


Teks naskah Proklamasi yang telah mengalami perubahan, yang dikenal dengan sebutan naskah "Proklamasi Otentik", adalah merupakan hasil ketikan oleh Mohamad Ibnu Sayuti Melik (seorang tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan Proklamasi), yang isinya adalah sebagai berikut :

P R O K L A M A S I
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
Atas nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta.

(Keterangan: Tahun pada kedua teks naskah Proklamasi di atas (baik pada teks naskah Proklamasi Klad maupun pada teks naskah Proklamasi Otentik) tertulis angka "tahun 05" yang merupakan kependekan dari angka "tahun 2605", karena tahun penanggalan yang dipergunakan pada zaman pemerintah pendudukan militer Jepang saat itu adalah sesuai dengan tahun penanggalan yang berlaku di Jepang, yang kala itu adalah "tahun 2605".)

Dan Berikut ini adalah teks pidato Ir. Soekarno sebelum memproklamasikan kemerdekaan Indonesia










Saudara-saudara sekalian!
Saya telah meminta Anda untuk hadir di sini untuk menyaksikan peristiwa dalam sejarah kami yang paling penting.
Selama beberapa dekade kita, Rakyat Indonesia, telah berjuang untuk kebebasan negara kita-bahkan selama ratusan tahun!
Ada gelombang dalam tindakan kita untuk memenangkan kemerdekaan yang naik, dan ada yang jatuh, namun semangat kami masih ditetapkan dalam arah cita-cita kami.
Juga selama zaman Jepang usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak pernah berhenti. Pada zaman Jepang itu hanya muncul bahwa kita membungkuk pada mereka. Tetapi pada dasarnya, kita masih terus membangun kekuatan kita sendiri, kita masih percaya pada kekuatan kita sendiri.
Kini telah hadir saat ketika benar-benar kita mengambil nasib tindakan kita dan nasib negara kita ke tangan kita sendiri. Hanya suatu bangsa cukup berani untuk mengambil nasib ke dalam tangannya sendiri akan dapat berdiri dalam kekuatan.
Oleh karena semalam kami telah musyawarah dengan tokoh-tokoh Indonesia dari seluruh Indonesia. Bahwa pengumpulan deliberatif dengan suara bulat berpendapat bahwa sekarang telah datang waktu untuk mendeklarasikan kemerdekaan.
Saudara-saudara:
Bersama ini kami menyatakan solidaritas penentuan itu.
Dengarkan Proklamasi kami :
P R O K L A M A S I
KAMI BANGSA INDONESIA DENGAN INI MENYATAKAN KEMERDEKAAN INDONESIA.
HAL-HAL YANG MENGENAI PEMINDAHAN KEKUASAAN DAN LAIN-LAIN DISELENGGARAKAN
DENGAN CARA SAKSAMA DAN DALAM TEMPO YANG SESINGKAT-SINGKATNYA.
DJAKARTA, 17 AGUSTUS 1945
ATAS NAMA BANGSA INDONESIA.
SUKARNO-HATTA.

Jadi, Saudara-saudara!
Kita sekarang sudah bebas!
Tidak ada lagi penjajahan yang mengikat negara kita dan bangsa kita!
Mulai saat ini kita membangun negara kita. Sebuah negara bebas, Negara Republik Indonesia-lamanya dan abadi independen. Semoga Tuhan memberkati dan membuat aman kemerdekaan kita ini



(*)
                                                                   -The Untold Story-
"Yang paling penting di dalam peperangan dan revolusi adalah saatnya yang tepat. Di Saigon, saya sudah merencanakan seluruh pekerjaan ini untuk dijalankan tanggal 17," kata Bung Karno.

Mendengar pernyataan Bung Karno, Sukarni lantas bertanya. "Mengapa justru diambil tanggal 17, mengapa tidak sekarang saja, atau tanggal 16?" tanya Sukarni.

Bung Karno lantas menjelaskan alasannya memilih tanggal 17 sebagai waktu memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

"Saya seorang yang percaya pada mistik. Saya tidak dapat menerangkan dengan pertimbangan akal, mengapa tanggal 17 lebih memberi harapan kepadaku. Akan tetapi saya merasakan di dalam kalbuku, bahwa itu adalah saat yang baik. Angka 17 adalah angka suci. Pertama-tama kita sedang berada dalam bulan suci Ramadan, waktu kita semua berpuasa, ini berarti saat yang paling suci bagi kita. Tanggal 17 besok hari Jumat, hari Jumat itu Jumat legi, Jumat yang berbahagia, Jumat suci. Alquran diturunkan tanggal 17, orang Islam sembahyang 17 rakaat, oleh karena itu kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia," kata Soekarno seperti ditulis Lasmidjah Hardi.
Baca Selengkapnya >>

Sabtu, 01 Juni 2013

PANSER ANOA

Panser anoa ini merupakan salah satu dari produk kendaraan lapis baja unggulan PT.Pindad. Panser seharga 7 milyar ini sedianya diproduksi untuk di gunakan oleh TNI namun karena banyaknya permintaan dari luar negeri maka PT.Pindad membuat panser anoa untuk diekspor keluar negeri seperti Oman, Malaysia, Nepal, dan Bangladesh. 

APS-3 "Anoa" (kependekan dari Angkut Personel Sedang-3/Medium Personnel Carrier) adalah sebuah kendaraan militer lapis baja buatan PT Pindad Indonesia. Kendaraan ini dipergunakan untuk mengangkut personel atau dikenal dengan nama APC (Armoured personnel carrier). Nama ANOA sendiri diambil dari nama hewan Anoa yang hidup di pulau sulawesi. APS 3 ini dinamai anoa yang merupakan salah satu jenis kerbau asli Indonesia. Purwarupa pertama kali di perlihatkan ke publik pada ulang tahun ke 61 TNI pada 5 Oktober 2006 di markas besar TNI, Cilangkap. 



Sejarah pengembangan Panser Pindad ini dimulai pada tahun 2003 karena ada gangguan keamanan nasional di Aceh. Selama Operasi Militer di Aceh, TNI Angkatan Darat membutuhkan kendaraan angkut personel yang amatlah mendesak untuk transportasi pasukan. Pindad merespon permintaan ini tahun 2004, dengan APR-1V (Angkut Personel Ringan). sebuah kendaraan lapis baja yang berbasis sasis truk Isuzu. Tetapi, order selanjutnya dibatalkan karena Tsunami 2004.Berikutnya adalah Pindad APS-1, sebuah rancangan 6x6 yang didasarkan dari sasis truk Perkasa buatan PT Texmaco. Meskipun tidak dipilih untuk diproduksi, pengalaman yang didapat dari pengembangan APS-1 meyakinkan TNI untuk memberi lampu hijau kepada Pindad untuk membuat generasi selanjutnya dari ranpur Panser, Pindad APS-2 dengan ongkos produksi sebesar 600 juta rupiah perbuah. Tahun 2006 Pindad dan BPPT memulai pengembangan APS-3 yang tidak hanya bisa bermanuver di darat tetapi juga di perairan dangkal dan danau. Pengembangan ini menghasilkan varian 4x4, dan selanjutnya disempurnakan untuk diaplikasikan kemampuan amfibinya untuk varian 6x6. Ujicoba purwarupa pertama dilakukan awal tahun 2007, dan pada 10 Agustus 2008, 10 panser pertama APS-3 ANOA diproduksi. Tahun 2009, panser pertama diserahterimahkan kepada kementrian pertahanan.

Dari segi rancangan ANOA APS-3 berbeda dengan pendahulunya (APS-1 dan APS-2) yang dikembangkan dari truk komersial. "Anoa" menggunakan badan berdesain monocoque berlapis baja. Sistem suspensi batang torsi baru dikembangkan untuk panser ini. Mesin dan transmisi menggunakan produk Renault dari Perancis. Sopir duduk disebelah kanan dan komandan duduk disebelah kiri dari kendaraan. Bentuk dan persenjataan ANOA amatlah mirip dengan kendaraan angkut personel buatan Prancis, VAB. 

Pelat baja panser anoa 6x6 dibuat hasil karya dari PT. Krakatau Steel. Bodi atas panser ini menggunakan jenis Armoured Steel setebal 10m sedangkan lantai dasarnya menggunakan mild steel setebal 10mm yang mampu menahan peluru kaliber 7,62x51 mm dan mampu menahan ledakan ranjau hingga massa 8 kg di bagian roda gardan dan di tengah-tengah badan. Kaca mobil terbuat dari Armoured Glass setebal 30mm, armoured glass juga diperkuat lapisan fleksibel dari polycarbonate transparan, sehingga kaca depan hanya akan tampak remuk tapi tidak pecah. Dan disaat kondisi terdesak ANOA 6x6  mempunya 3 granat asap di kanan dan kiri panser untuk menghindari musuh yang terlalu kuat.

Persenjataan ANOA 6x6 dilengkapi oleh Turret berkaliber 12,7 mm dengan sudut elevasi 45 dan rotari 360. Turret ini memiliki jarak tembak hingga 2 kilometer, sedangkan jarak tembak efektifnya antara 600 - 1500 m. Keenam roda dipasang suspensi mandiri menggunakan tersion bar. Mempunyai bobot total 14 ton ANOA 6x6 dapat melaju hingga 90km/jam. Panser 6x6 mampu membawa 13 personil. Panser ini juga dilengkapi oleh AC sebanyak 3 unit dengan blower 12 pk. Selain itu FM Radio Anti sadap juga terpasang di panser buatan Pindad ini.



Pindad APS-3 diperlihatkan secara resmi kepada publik pada Indo Defence & Aerosace 2008 pada tanggal 19 November hingga 22 November, 2008. Semenjak 9 April 2010 13 buah ANOA telah digunakan untuk mengawal misi perdamaian PBB di Lebanon bersama Satgas Batalyon Mekanis TNI Kontingen Garuda XXIII-D/UNIFIL. ANOA 6x6 maupun 4x4 biasa digunakan untuk pengawalan kegiatan-kegiatan penting negara. Pada 15 November 2011 ANOA varian 6x6 yang menggunakan persenjataan Senapan Mesin Berat 7.62 mm digunakan sebagai kendaraan tempur untuk patroli dan penjagaan ring pada acara KTT ASEAN di Nusa Dua, Bali.


Pada dasarnya jenis panser ini yaitu APC (Armoured personnel carrier) yakni untuk mengangkut personil namun untuk lebih meningkatkan kegunaan dan kemampuan panser ini maka PT Pindad memproduksi berbagai variannya seperti varian meriam, ambulans dan recovery bahkan PT.Pindad mengeluarkan Panser anoa varian UN(United Nation) untuk digunakan oleh pasukan unifil indonesia yang melakukan tugas pengamanan di perbatasan antara Libanon dan Israel. . Informasi terakhir, 13 unit Anoa telah dikirim ke Lebanon untuk memperkuat Satgas Batalyon Mekanis TNI Kontingen Garuda XXIII-D/UNIFIL. Berikut foto-foto dari varian panser anoa 6x6 :

ANOA IFV


ANOA Mortar

( Tampak Luar )



( Tampak Dalam )

Varian pendukung



( Anoa Medis )






( Anoa Kanon )




Armored Recovery Vehicle )



 ( Anoa Versi Ekspor dengan nama "Rimau" )


Baca Selengkapnya >>

Sabtu, 06 April 2013

Ichiki "Abdul Rachman" Tatsuo



Pada 15 Februari 1958, Presiden Sukarno menyerahkan sebuah teks kepada Shigetada Nishijima untuk disimpan di biara Buddha Shei Shoji diTokyo. itu berisi kenangan Sukarno kepada dua orang Jepang yang membantu perjuangan Indonesia: Ichiki Tatsuo dan Yoshizumi Tomegoro. Ichiki Tatsuo lahir di kota kecil Taraki, prefektur Kumamoto, bagian selatan Kyushu. Dia anak ketiga dari enam bersaudara. Ketika kecil, orangtuanya bercerai, dia ikut ibunya. Ichiki dibesarkan  saat Jepang berada pada masa transisi. Kebebasan dan demokrasi selama  zaman Taisho (1912-1926) mulai tergerus oleh tekanan militer pada masa  Showa (1926-1989). 


Banyak pemuda desa seperti juga Ichiki bercita-cita mencari kehidupan  baru di Amerika Selatan atau Asia  Tenggara. Kesempatan itu pun datang. Datang surat dari teman sekampung, Tsuruoka  Kazuo, yang sukses mendirikan toko kelontong di kota Pagar Alam. Isinya: mengundang Ichiki untuk datang dan bekerja di studio foto Miyahata di Palembang. Saat itu Ichiki berusia 21 tahun. Dia meninggalkan bangku sekolah menengah sebelum lulus dan magang di  sebuah studio foto, dekat kampungnya. Pada 22 Januari 1928,Ichiki brkt. 

"Dia bermimpi menjalankan studio foto terbesar di Samudra Pasifik bagian  selatan," tulis Goto dalam “Life and Death of Abdul Rachman (1906-49):  One Aspect of Japanese-Indonesian Relationships," Indonesia, Vol 22, 1976. 

Pada 1933, Ichiki datang ke Bandung karena saudara mudanya, Naohiro yang menyusulnya pada akhir 1929, meninggal dunia. Ichiki tak kembali ke Palembang tapi tetap di Bandung dan bekerja di studio foto. Merasa tak nyaman, dia jadi kondektur bus. Tak cocok, dia meninggalkan pekerjaan ini dan tinggal di rumah Iti,  perempuan dari keluarga miskin di sebuah kampung di Sumedang. Dia menemukan kedamaian, bahkan merasa hampir sepenuhnya sebagai orang  Indonesia. "Ini adalah kelahiran baru Ichiki Tatsuo," tulis Kenichi. Dalam kehidupan keras di kampung ini, Ichiki memupuk pengetahuan bahasa Indonesia sampai dia menyusun kamus Indonesia-Jepang. Ichiki tetap mengikuti perkembangan politik Jepang. dia  sering pergi ke Klub Jepang di Bandung. Dia juga melahap koran dan  majalah Jepang. Machida Taisaku, pemimpin senior Klub Jepang di Bandung, merekomendasikan Ichiki ke koran Nichiran Shogyo Shinbun, yang dijalankan Kubo Tatsuji, advokat pendukung Asianisme. 


Pada Juli 1937, koran ini merger dengan Jawa Nippo dan berubah nama menjadi Toindo Nippo (Harian Hindia Timur) tapi tetap anti-Belanda. Pemerintah Hindia Belanda, yang menganggap Jepang sebagai ancaman,  meningkatkan pengawasan terhadap kegiatan Ichiki dan kawan-kawannya. Pada 1938, untuk mendiskusikan proyek Toindo Nippo lebih kongkret, Ichiki kembali ke Tokyo. Tapi sebelum berangkat ke Indonesia, dia menerima telegram dari Belanda yang melarangnya masuk kembali ke Jawa karena kegiatan  anti-Belanda. Ichiki pun bekerja sebagai peneliti paruh waktu di Biro Asia Pasifik Kementerian Luar Negeri dan di Staf Umum Angkatan Darat. 


Pada 1940-an, Amerika Serikat, Inggris, dan Belanda secara bertahap memperkuat embargo ekonominya kepada Jepang. Pada masa ini, Ichiki berteman dekat dengan Joseph Hassan, pejuang  kemerdekaan Indonesia yang secara senbunyi dikirim ke Jepang oleh  teman  Jepangnya, seperti Machida Taisaku and Sato Nobuhide. Setelah menggulingkan Belanda pada Maret 1942, Jepang disambut dengan suka cita sebagai Saudara Tua. Namun, suasana itu tak berlangsung lama. Jepang segera melarang berbagai aktivitas politik. Ichiki pun kecewa. 

Pada sesi Imperial Diet (Majelis Perwakilan Tertinggi Jepang) awal 1943,  Perdana Menteri Hideki Tojo menyebutkan akan memberikan kemerdekaan  bagi Filipina dan Burma di akhir tahun 1943 tapi Indonesia tidak disebut. Sekali lagi, Ichiki frustasi dan lambat-laun membenci negerinya sendiri. Pada Oktober 1943, Jepang membentuk Pembela Tanah Air (Peta) –kelak  menjadi inti dari angkatan bersenjata Indonesia. Ichiki bekerja sebagai  petugas paruh waktu di Divisi Pendidikan Peta di Bogor. Pekerjaannya menerjemahkan manual tentara Jepang seperti Rikugun Hohei Soten (Manual Infantri) dan menjadi editor majalah Heiho, Pradjoerit. Melalui karyanya, dia merasa masih bisa melayani masyarakat Indonesia. Ichiki juga pernah menjadi Pemimpin Redaksi Asia Raya. 

Pada 15 Agustus 1945, berita kekalahan Jepang sampai pada Ichiki. Jepang, yang melalui Perdana Menteri Kuniaki Koiso,pengganti Tojo, berjanji memberikan"kemerdekaan Indonesia di kemudian hari" pada 7 September 1944, mengingkari dan mematuhi perintah Sekutu, serta   menyatakan tak ada hubungannya lagi dengan masalah kemerdekaan Indonesia. Ichiki merasa Jepang telah mengkhianati rakyat Indonesia dua kali: pada awal dan akhir pendudukan. Di hari Jepang menyerah, Ichiki menyatakan berpisah dengan Jepang. Dia menentang tentara Sekutu dan pendaratan pasukan Belanda, serta  bertekad untuk berbagi dengan rakyat Indonesia akan nasib ibu pertiwi  barunya, Republik Indonesia. bukan sebagai seorang Jepang Tatsuo Ichiki, tapi sebagai pemuda Abdul Rachman Nama itu diberikan oleh H. Agus Salim ketika menjadi penasihat Divisi Pendidikan Peta, sebagai penghargaan kepadanya yang  memihak Republik. 

Pada masa perang kemerdekaan, Abdul Rachman memimpin Pasukan Gerilya Istimewa di Semeru, Jawa Timur, yang disegani Belanda. Pasukan yang dibentuk pada 1948 ini merupakan satuan khusus di bawah  militer Indonesia yang beranggotakan sekitar 28 orang tentara Jepang yang  bersimpati pada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Mereka disebut zanryu nihon hei atau prajurit yang tinggal di belakang. 

9 Januari 1949, desa terpencil Dampit dekat Malang,yang merupakan salah satu medan pertempuran sengit,menjadi akhir  riwayat sang samurai. Abdul Rachman berlari ke depan melawan arus peluru Belanda untuk  mendorong pasukan Indonesia, yang mulai ragu melihat kekuatan Belanda. Alhasil, beberapa peluru Belanda menembus dahinya. Ichiki "Abdul Rachman" Tatsuo pun gugur sebagai Bangsa Indonesia. 

 "Kepada sdr. Ichiki Tatsuo dan sdr. Yoshizumi Tomegoro. Kemerdekaan  bukanlah milik suatu bangsa saja, tetapi milik semua manusia." Tokyo, 15 Februari 1958 - Soekarno. itulah tulisan di monumen  biara Buddha Shei Shoji di Minatoku, Tokyo.
Baca Selengkapnya >>

Selasa, 05 Februari 2013

Battle Of Karánsebes


Mungkin tidak ada tempat lain bagi perang Austria-Turki yang berlangsung pada tahun 1787-1791 selain di catatan buku sejarah jika pertempuran Karansebes tidak terjadi. Austria yang sekarang penting untuk diketahui, masih merupakan Kerajaan Austria sebelum kompromisasi Austria-Hungaria pd tahun 1866.

Di Karánsebes, Tentara Austria yang berjumlah 100.000 orang lebih baru saja datang dan sedang sibuk mendirikan perkemahan di kota tersebut. Ya sebagai rutinitas biasa segelintir kavaleri Hussar mulai menjalar keluar kota untuk berpatroli, mengantisipasi kedatangan pasukan Turki. Pasukan Turki rupanya belum ada setelah pengintaian telah dilakukan. Segelintir Hussar itu malah menemukan penjual bangsa Gipsi. Penjual Gipsi tersebut menawarkan minuman keras (schnapps) ke kavaleri Hussar yang telah lelah mengintai seharian. Tentunya langsung dibeli. Setelah membeli minuman keras itu, mulailah para Hussar Austria minum-minum hingga teler dan mabok. Tidak lama, beberapa orang prajurit Austria datang. Melihat pesta miras yang sedang berlangsung, mereka meminta bagian juga. Namun para Hussar yang mabuk menolak untuk memberikan minuman mereka ke para prajurit itu. Mereka malah membuat barikade seadanya. setelah para Hussar ini membuat barikade di sekeliling tong minuman mereka, situasi cepat berubah menjadi keruh. Terjadi perdebatan dan cekcok mulut diantara prajurit-prajurit biasa dan para Hussar. Dalam keributan salah satu prajurit menembak. Setelah penembakan situasi sudah tidak terkontrol lagi. Para prajurit dan Hussar saling menyerang satu sama lain. Terjadi semacam skirmish.

Ditengah-tengah pertempuran kecil itu, salah satu prajurit Austria yang berkebangsaan Romania malah berteriak "Turcii! Turci!!" (Turki2!!) Para Hussar yang dari tadi sudah mabok, lalu berperang dengan prajurit Austria sendiri, langsung kabur gara-gara mendengar teriakan itu. Prajurit-prajurit Austria sendiri juga malah ikutan kabur begitu melihat para Hussar kabur. Mereka kabur ke arah perkemahan di Karánsebes. Penting juga disini masalah bahasa. Kerajaan Austria pada satu sisi mirip dengan negara kita yang terdiri dari berbagai suku bangsa. Ada prajurit Slovakia, Kroasia, Serbia. Ada prajurit dari Jerman Austria. Ada juga yang dari Italia dsb. Mereka tidak mengerti satu sm lain. Kerajaan Austria sama sekali tidak mempunyai bahasa nasional seperti kita di Indonesia. Dalam kekacauan sangat mudah terjadi kesalahpahaman. Di Karánsebes perwira-perwira berusaha meredakan situasi. Tetapi mereka berteriak dgn menggunakan Bahasa Jerman yang tidak dimengerti smua.

Bayangkan kata-kata perintah, "Halt! Halt! Halt!" yang diteriakan perwira Austria itu malah didengar oleh prajurit yg tidak mengerti jadi terdengar seperti, "Allah! Allah!" Ini berarti menurut sepengetahuan mereka, pasukan Turki telah tiba2 berada di perkemahan. Terjadi pelarian masalah setelah itu. Kavaleri Hussar yang sedang berlari menubruk dengan prajurit biasa dan mengacaukan perkemahan. Ini harus saya bilang terjadi di malam hari, yang tidak menolong situasi juga. Seorang komandan korps sampai-sampai mengira bahwa kavaleri Ottoman sudah melakukan Charge dan memerintahkan artilleri untuk menembak. Penghuni perkemahan yang terbangun gara2 suara pertempuran juga ikutan panik. Mereka mengira pasukan Ottoman sudah dimana-mana. Mereka mengambil musket dan pistol yang ada lalu menembak sembarang ke setiap bayangan yang lewat atau terlihat. Semua juga mengikuti. Terjadi pertempuran sengit di kekacuan itu. Pasukan Austria menembak Pasukan Austria sendiri satu sama lain. Semua pasukan ikut terjun. Setelah beberapa saat tentara Austria akhirnya mundur sendiri, mengira telah dikalahkan dan di ambush oleh pasukan Ottoman. Kaisar Josef II yang merupakan komandan paling tinggi sekaligus raja Austria didorong dari kudanya sampai nyungsep ke sebuah anak sungai. Pertempuran berakhir setelah semua pasukan Austria mundur atau kabur dari tkp. Pasukan Austria telah kalah melawan dirinya sendiri.

Ketika dua hari kemudian pasukan Ottoman yang beneran datang, mereka melihat 10.000 prajurit tewas atau terluka di lapangan. Kebetulan atau tidak, setelah perang berakhir, dan traktat perdamaian ditandatangani, Austria tidak pernah lagi berperang melawan Ottoman. Gesekan diplomatis mungkin masih terjadi, tapi perang terbuka diantara Austria-Ottoman sudah tidak pernah terjadi lagi.
Baca Selengkapnya >>

Kamis, 03 Januari 2013

Jagdgeschwader Richtofen


Jagdgeschwader Richtofen adalah fighter wing pertama di dunia hadir sebagai gabungan 4 skadron karena kegagalan membangun air superiority di PD I. Jagdgeschwader yang pertama terbentuk bernama JG1, terdiri dari gabungan skadron 4, 6, 10, dan 11, dipimpin oleh Manfred von Richtofen. Manfred von Richtofen memiliki keunikan menggunakan pangkat Rittmeister (Kapten Kavaleri) bukan Hauptmann karena berasal dr Resimen Uhlan 1. Richtofen sendiri baru masuk angkatan udara pada Mei 1915, dan setelah memimpin Jasta (Skadron Pemburu) 11, mengantongi kredit 38 kills.

JG1 Richtofen disebut "Flying Circus" karena dicat unik per skuadron. Merah(Jasta 11), kuning(Jasta 10), hitam-putih kotak2 (Jasta 4 dan 6). korban pertama JG1 Richtofen adalah balon observasi,sasaran tersebut terbilang sulit karena dilindungi meriam AAA, biasanya untuk jatuhkan 1 balon memakan korban 1 pesawat. penggunaan Albatros DV pada JG1 membawa masalah pada sayap bawah, tidak bisa membuatnya menukik terlalu tajam. Sebuah kerugian bagi Richtofen.

Berbekal Albatros DIII, DV,& Pfalz DIII, keempat Jasta JG1 Richtofen mengharu biru langit eropa barat mulai Juli 1917, biarpun banyak masalah. JG1 Richtofen pada akhir Juli 1917 mendapat nama tenar Werner Voss memimpin Jasta 10 diyakini lebih hebat ketimbang Red Baron itu sendiri. Richtofen mendapat kesempatan mencoba prototipe Fokker Dr I pada 1 september 1917 dan mencatatkan kills ke-60-nya.

Sialnya, prototipe Dr I itu merenggut nyawa Kurt Wolff, komandan Jasta 11 Richtofen yang menggunakan pesawat itu pada 15 September 1917. keistimewaan dimiliki oleh Werner Voss, komandan Jasta 10 ini mendapat prototipe Dr I khusus untuk dirinya sendiri, dan diwarnai biru silver. lagi-lagi, JG1 Richtofen kehilangan pilot terbaik mereka. Kali ini Werner Voss tewas pada 23 Sept 1917 setelah duel melawan 7 S.E.5a RFC. JG1 Richtofen akhirnya melaksanakan tugas yang direncanakan waktu pembentukannya sebagai pemadam kebakaran setelah tank inggris menjebol cambrai. hanya dalam 48jam setelah serangan tank inggris, JG1 Richtofen beraksi, dan minggu awal Desember 1917, Battle of Cambrai berakhir.

Setelah melalui awal 1918 yang sepi, pada 21 Maret JG1 Richtofen mendukung serangan pasukan Jerman ke Somme, dalam cuaca buruk & miskin kills. Cuaca buruk menghalangi pergerakan JG1 sampai minggu ketiga April 1918. setelah kills ke 80nya, Richtofen dikabarkan tertembak jatuh!. terjebak oleh tembakan meriam dari darat, Richtofen yang tidak sadarkan diri jatuh menabrak tembok & dimakamkan dengan kehormatan militer penuh.

Surat wasiat Richtofen dibuka, dia telah menunjuk Reinhard dari Jasta 6 utk menggantikan dirinya seandainya dia tewas, dan dipatuhi. Richtofen tewas pada puncak kemasyhuran JG1, sehingga pada akhir Mei 1918 JG1 mendapat nama kehormatan Jagdgeschwader Frhr von Richtofen Nr 1. Komandan baru JG1 Richtofen , Wilhelm Reinhard, tewas sewaktu mengujicoba prototipe Dornier D-I setelah sebelumnya sukses dicoba Hermann Goring. Hermann Goring menjadi komandan JG1 Richtofen terakhir dan menunjukkan ketegasan bahwa tidak ada lagi operasi free-for-all unttk semua pilot. (* free-for-all atau freie jagd adalah perburuan pesawat musuh secara bebas tanpa harus melaporkan posisi mereka kepada komandannya.)

Di tengah2 aksi tentara Sekutu di Marne, pada 25 Juli 1918, adik kandung red baron, lothar von Richtofen mencatatkan kills ke-500 bagi JG1. gempuran Sekutu memaksa JG1 Richtofen makin mundur dalam hitungan jam, dan pada 6 November 1918, JG1 bertempur terakhir kalinya. Goring yg menolak menyerahkan pesawat2 JG1 Richtofen ke tangan amerika, malah terlibat 'perang' dengan sesama Jerman di Darmstadt. Kaum revolusioner Jerman mengancam akan membakar semua pesawat Goring, setelah diancam balik akan diserang, pesawat-pesawat itu dilepaskan. Goring dkk akhirnya "menyerahkan" semua pesawat JG1 Richtofen ke tangan Prancis dengan crash landed dan sisanya hanyalah tinggal kepingan!. inilah akhir dari Jagdgeschwader Frhr von Richtofen Nr 1, dalam 17 bulan hidupnya mencatat 644 kills dgn 56 pilot tewas dan 52 lain luka2.
Baca Selengkapnya >>